Kamis, 17 April 2008

SUMPAH POCONG, upaya mengungkap kebenaran

(telah dipresentasikan pada kuliah bahasa hukum tanggal 27 Pebruari 2008

di Pasca Sarjana Fakultas Hukum UGM

dosen pengampu Prof.Dr. Sudjito, S.H.,M.Si)

1. Pendahuluan

a. Latar Belakang

Para pendiri negara-bangsa (nation-state) Indonesia sejak semula sudah menyadari bahwa negara ini adalah negara kepulauan yang majemuk. Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" secara filosofis menunjukkan penghormatan bangsa Indonesia atas kemajemukan atau keragaman sosial, budaya dan politik. Dengan semboyan ini para pendiri bangsa telah menempatkan masyarakat adat sebagai elemen dasar dalam struktur negara-bangsa Indonesia.

Amandemen Kedua UUD 1945 pasal 18B poin (2) pada bab VI yang mengatur tentang pemerintahan daerah telah menegaskan bahwa: "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang"[1]. Pasal ini, walaupun untuk pelaksanaannya masing memerlukan UU, menempatkan komunitas-komunitas masyarakat adat dalam posisi yang kuat dan penting dalam kehidupan berbangsa-bernegara di Indonesia. Pasal ini merupakan landasan konstitusional bagi hak masyarakat adat untuk mengatur dirinya dan menegakkan hukum adatnya.

Amandemen Kedua UUD 1945 pasal 28I poin (3) pada Bab X A yang mengatur tentang Hak Azasi Manusia pada pasal 28-I Ayat (3)[2] semakin memperkuat kedudukan masyarakat adat dengan mengatakan bahwa: "identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban" merupakan hak azasi manusia yang harus dihormati oleh Negara. Dengan penegasan pasal ini, menjadi sangat jelas bahwa apabila satu komunitas masyarakat adat menyatakan dirinya masih hidup maka Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib melindungi hak-hak adatnya. Dengan klausul ini maka konstitusi telah menggariskan bahwa penentuan suatu komunitas sebagai masyarakat adat sepenuhnya berada ditangan komunitas yang bersangkutan (self-identification and self-claiming), bukan ditentukan oleh pemerintah atau oleh para akademisi/ ilmuwan/peneliti. Artinya kalau suatu komunitas masyarakat adat bisa menunjukkan identitas budayanya dan hak-hak tradisional yang diwariskan dari leluhurnya (penjelasan pasal 18 UUD 1945 yang sudah diamandemen menyebut hak ini sebagai hak asal usul) yang selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban, maka negara harus menghormatinya.

Sebagai negara yang sangat majemuk, bangsa Indonesia terdiri atas beraneka ragam budaya yang didalamnya berisi pranata-pranata adat yang masing-masing masih terpelihara dari dahulu sampai sekarang. Pranata adat maupun hukum lokal yang berkembang dan terpelihara tersebut selain dipengaruhi oleh kearifan lokal yang didalamnya mengandung simbol-simbol kebahasan lokal juga dipengaruhi pula oleh unsur religi yang dominan di dalam masyarakat tersebut.

Manusia sebagai makhluk sosial dan warga masyarakat tidak akan lepas dari proses interaksi dengan manusia epaskan diri dari dari lain. Proses interaksi tersebut berjalan dan berkembang sejalan dengan pola kehidupan dan perkembangan peradaban manusia dan masyarakat itu sendiri. Tatacara hubungan antar manusia dalam masyarakat tradisional akan berbeda dengan pola interaksi manusia di dalam masyarakat yang lebih modern.

Proses interaksi antar manusia warga masyarakat bisa berjalan dengan lancar melalui media komunikasi yang bisa diterima atau dipahami bersama antar manusia tersebut. Profesor Sudjito menyatakan bahwa manusia adalah makhluk simbolis, dimana mereka berkomunikasi baik vertikal dengan Tuhan maupun horizontal dengan sesama makhluk ciptaan-Nya melalui simbol-simbol[3]. Simbol-simbol tersebut bisa berbentuk kata-kata (lisan), tulisan maupun perlambang (tanda, isyarat dan lain-lain). Rangkaian dari simbol-simbol tersebut kemudian menjadi suatu bahasa dan memiliki makna yang dipahami oleh masyarakat pemakainya.

Di dalam proses interaksi antar manusia dalam masyarakat baik masyarakat tradisional maupun masyarakat modern tentu tidak dapat dihindari kemungkinan timbulnya perselisihan atau konflik. Konflik-konflik yang timbul tersebut bisa terjadi odern. ebut adantar manusia tersebut adalah bagaimana mereka menyelesaikan konflik yang timbul di antara merekantar manusia maupun antar komunitas yang ada di dalam masyarakat itu sendiri. Konflik-konflik tersebut tersebut memerlukan penyelesaian, baik dengan hukum adat/kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat adat maupun melalui jalur formal hukum positif yang ada.

Salah satu proses atau ritual adat yang masih dipakai warga masyarakat untuk membuktikan atau mencari kebenaran atas kasus atau konflik adalah sumpah pocong. Pelaksanaan sumpah pocong ini masih banyak digunakan sebagai upaya untuk membuktikan kebenaran yang diyakini oleh para pihak yang bersengketa. Pilihan untuk melaksanakan sumpah pocong biasanya ditempuh apabila para pihak yang bersengketa tidak dapat mengajukan bukti-bukti yang kuat untuk mendukung argumen atau klaim yang diajukan.

b. Permasalahan

Pelaksanaan sumpah pocong sebagai upaya membuktikan kebenaran dalam beberapa kasus yang ada akhir-akhir ini bisa dikatakan cukup unik. Di satu sisi sumpah pocong adalah merupakan produk dan praktek hukum adat dan tidak diatur atau disebut di dalam hukum acara pidana maupun perdata. Namun pada beberapa kasus dalam pengadilan, hakim menerima sumpah pocong sebagai dasar untuk memutuskan perkara yang disidangkan. Keunikan lain yang bisa diungkapkan adalah bahwa sumpah pocong sebagai hukum adat pada lazimnya dipraktikkan oleh masyarakat adat yang ‘tradisional’, namun pada kenyataan yang ada, masyarakat yang sudah cukup ‘modern’ dan maju pun banyak yang memakai pelaksanaan sumpah pocong untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapi.

Permasalahan yang akan dibahas dalam paper ini adalah bagaimana sumpah pocong sebagai salah satu simbol kebahasaan hukum yang dikenal dalam masyarakat digunakan sebagai upaya mencari kebenaran dan keadilan.

2. Pembahasan

  1. Definisi

Sumpah pocong adalah sumpah yang dilakukan oleh seseorang dalam keadaan terbalut kain kafan seperti layaknya orang yang telah meninggal (pocong). Sumpah ini tak jarang dipraktekkan dengan tata cara yang berbeda, misalnya pelaku sumpah tidak dipocongi tapi hanya dikerudungi kain kafan dengan posisi duduk. Sumpah pocong biasanya dilakukan oleh pemeluk agama Islam dan dilengkapi dengan saksi dan dilakukan di rumah ibadah (mesjid). Di dalam hukum Islam sebenarnya tidak ada sumpah dengan mengenakan kain kafan seperti ini. Sumpah ini merupakan tradisi lokal yang masih kental menerapkan norma-norma adat. Sumpah ini dilakukan untuk membuktikan suatu tuduhan atau kasus yang sedikit atau bahkan tidak memiliki bukti sama sekali. Konsekuensinya, apabila keterangan atau janjinya tidak benar, yang bersumpah diyakini mendapat hukuman atau laknat dari Tuhan.[4]

Ritual sumpah pocong sebagaimana tersebut di atas adalah merupakan upaya para pihak yang bersengketa dalam mencari kebenaran atas kasus yang dihadapi. Nadine Gordimer, novelis pemenang Nobel dari Afrika Selatan, menegaskan bahwa hakikat kebenaran merupakan sisi tersembunyi dari kehidupan manusia. Secara tersirat pernyataan ini menunjukkan bahwa manusia mempunyai keterbatasan dalam mengungkapkan kebenaran apapun. Dengan penyerahan diri pada kekuasaan adikodrati, manusia secara tidak langsung menegaskan kemanusiannya.[5]

  1. Sumpah Pocong Adalah Merupakan Hukum Adat

Prinsip dalam aliran sejarah hukum mencerminkan keterkaitan antara hukum dan basis sosialnya (Friedman) adalah :

1) hukum tidak dapat dibuat melainkan ditemukan. Hukum tidak dapat dilihat sebagai suatu institusi yang berdiri sendiri, melainkan semata-mata suatu proses dan perilaku masyarakat sendiri.

2) Hukum itu tumbuh dari hubungan-hubungan hukum yang sederhana pada masyarakat primitif sampai menjadi hukum yang besar dan kompleks dalam peradaban modern.

3) Hukum itu tidak mempunyai keberlakuan dan penerapan yang universal. Setiap bangsa memiliki habitat hukumnya, seperti mereka memiliki bahasa dan adatnya.[6]

Pengertian masyarakat adat menurut Konvensi ILO No.169 tahun 1986 adalah: "Bangsa, suku, dan masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki jejak sejarah dengan masyarakat sebelum masa invasi dan penjajahan, yang ber-kembang di daerah mereka, menganggap diri mereka beda dengan komunitas lain yang sekarang berada di daerah mereka atau bukan bagian dari komunitas tersebut. Mereka bukan merupakan bagian yang dominan dari masyarakat dan bertekad untuk memelihara, mengembangkan, dan mewariskan daerah leluhur dan identitas etnik mereka kepada generasi selanjutnya; sebagai dasar bagi kelangsungan keberadaan mereka sebagai suatu suku, sesuai dengan pola budaya, lembaga sosial dan sistem hukum mereka." Sedangkan menurut Jaringan Pembelaan Hak-Hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) yang dirumuskan di Tana Toraja tahun 1993: "Kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, sosial, dan budaya sendiri."[7]

Hukum adat yang berlaku di dalam masyarakat adat antara lain mengatur soal hukum tata tantra (negara) dan administrasi tantra, hukum pidana, hukum pribadi, hukum harta kekayaan, hukum benda (benda tetap dan benda lepas), dan hukum perikatan (perjanjian, penyelewengan perdata, hak immateriil dan waris)[8]. Di dalam penyelesaian suatu sengketa atau penyelewengan adat, masyarakat yang diwakili oleh pemimpin-pemimpinnya menggariskan ketentuan-ketentuan yang fungsi utamanya adalah :

1) merumuskan pedoman bagaimana warga masyarakat seharusnya berperilaku, sehingga terjadi integrasi dalam masyarakat,

2) menetralisir kekuatan-kekuatan dalam masyarakat, sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengadakan ketertiban,

3) mengatasi persengketaan agar keadaan semula pulih kembali,

4) merumuskan kembali pedoman-pedoman yang mengatur hubungan antar warga masyarakat dan kelompok-kelompok apabila terjadi perubahan.[9]

Salah satu hukum adat yang masih sering dilaksanakan dalam menyelesaikan sengketa antar warga masyarakat adat adalah sumpah pocong. Pengertian sumpah pocong seperti telah diuraikan di atas, terutama berlaku bagi pemeluk agama Islam. Bagi pemeluk agama atau kepercayaan lain terdapat juga sumpah yang sejenis sesuai dengan agama atau kepercayaan tersebut. Adapun yang hampir serupa dengan fenomena sumpah pocong adalah apa yang disebut sebagai sumpah cor di kalangan masyarakat hindu di Bali. Pakar hukum adat yang pernah menerbitkan buku sumpah cor, I Wayan P. Windia, menegaskan bahwa sumpah ini hanya di kenal dan dilaksanakan oleh umat Hindu. Pelaksanaannya menggunakan sarana upacara berupa sesajen tertentu, sesuai ajaran agam Hindu, dengan acuan lontar aricandani. Sumpah cor sendiri uraiannya, adalah sumpah bahwa memang benar telah terjadi sesuatu atau tidak terjadi sesuatu. Sehingga kalau bohong siap terima sanksi niskala. Sumpah cor ini lazim dikenal dalam persengketaan utang piutang, sumpah cor memang hanya untuk umat Hindu Bali. Sedangkan dalam masyarakat etnis Cina juga dikenal sumpah sejenis sumpah pocong yang dilaksanakan di kelenteng (toapekong). Di hadapan meja sembahyang di sebuah kelenteng, sambil berdoa pelaku pengucap sumpah menggenggam erat sebilah pisau lalu memotong leher ayam hidup. Sementara harum dupa merebak ke segenap ruangan menusuk hidung serta kucuran darah ayam deras mengalir ke mangkuk, si pelaku segera mengucapkan kalimat-kalimat sumpah. Sesaat setelah unggas tersebut meregang nyawa, darahnya yang memenuhi mangkuk segera dioles-oleskan ke tubuh pelaku sumpah. Pada intinya tersimpan makna, bila yang diucapkan ternyata dusta maka pengucap sumpah akan mati sebagaimana ayam tersebut.[10]

Hasil penelitian terhadap praktek sumpah pocong dalam masyarakat Madura menunjukkan bahwa :

1) Ada beberapa factor yang melatar belakangi masih berlakunya sumpah pocong di masyarakat Madura; antara lain:

a) Berdasarkan sejarah masjid Madegan, sumpah pocong sudah dilakukan sejak Ratu Ibu masih hidup, sehingga sumpah pocong ini merupakan tradisi penyelesaian sengketa secara turun temurun sampai saat ini :

b) Masalah masalah yang muncul diselesaikan dengan sumpah pocong lebih mengarah pada tuduhan, sehingga dalam kasus-kasus yang ada tidak cukup bukti dan saksi jika diproses melalui jalur peradilan ;

c) Alasan bagi para pihak yang bersengketa memilih sumpah pocong sebagai penyelesaian sengketa , dikarenakan proses pelaksanaan sumpah pocong tidak terlalu banyak mengeluarkan tenaga, waktu dan biaya dan lebih memenuhi rasa keadilan bagi mereka dibandingkan melalui jalur peradilan.

2) Masalah yang diselesaikan melalui sumpah pocong selalu didukung kerabatnya dimana pihak yang bersengketa berada dalam kondisi permusuhan. Dalam hal ini, bukan hanya masalah perorangan tetapi juga masalah kerabat atau juga bisa dikatakan antar pemukiman karena pemukiman di Madura biasanya didasarkan pengelompokan rumah atas hubungan kekerabatan.

3) Pada proses sumpah pocong, para pendukung kebudayaan yang berupa perilaku dan benda-benda yang digunakan untuk sumpah pocong bermuatan makna, yaitu konsekuensi dari orang yang bersalah akan mendapatkan hukuman dari Tuhan berupa kematian yang suci, artinya kematian yang dikehendaki oleh Tuhannya seperti disimbulkan dengan ayam putih.

4) Makna sumpah pocong dalam budaya Madura lebih berkaitan harga diri, harkat dan martabat serta perasaan malu. Dengan adanya sumpah pocong akan membawa keharmonisan alam kehidupan sosial.

5) Dampak setelah sumpah pocong, disatu sisi adanya ketentraman dalam masyarakat, disisi lain adanya pengucilan dari masyarakat dan dijauhkan dalam masalah perjodohan.

  1. Sumpah Pocong dan Hukum Positif

Di dalam sistem pengadilan Indonesia, sumpah pocong ini dikenal sebagai ‘sumpah mimbar’ dan merupakan salah satu pembuktian yang dijalankan oleh pengadilan dalam memeriksa perkara-perkara perdata, walaupun bentuk sumpah pocong sendiri tidak diatur dalam peraturan Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata. Sumpah mimbar lahir karena adanya perselisihan antara seseorang sebagai penggugat melawan orang lain sebagai tergugat, biasanya berupa perebutan harta warisan, hak-hak tanah, utang-piutang, dan sebagainya.[11]

Dalam suatu kasus perdata ada beberapa tingkatan bukti yang layak diajukan, pertama adalah bukti surat dan kedua bukti saksi. Ada kalanya kedua belah pihak sulit menyediakan bukti-bukti tersebut, misalnya soal warisan, turun-temurunnya harta, atau utang-piutang yang dilakukan antara almarhum orang tua kedua belah pihak beberapa puluh tahun yang lalu. Bila hal ini terjadi maka bukti ketiga yang diajukan adalah bukti persangkaan yaitu dengan meneliti rentetan kejadian di masa lalu. Bukti ini agak rawan dilakukan. Bila ketiga macam bukti tersebut masih belum cukup bagi hakim untuk memutuskan suatu perkara maka dimintakan bukti keempat yaitu pengakuan. Mengingat letaknya yang paling akhir, sumpah pun menjadi alat satu-satunya untuk memutuskan sengketa tersebut. Jadi sumpah tersebut memberikan dampak langsung kepada pemutusan yang dilakukan hakim[12].

Sengketa perdata (mu'amalah) seringkali diwarnai pengingkaran gugatan (klaim), semisal pihak lawan merasa tidak menerima penyerahan sertifikat tanah yang diagunkan, merasa tidak berhutang kepada seseorang dan lain-lain. Dalam kasus tuduhan berlaku hal sama seperti pengingkaran atas tuduhan berpraktik sebagai dukun santet, tuduhan selingkuh dengan wanita bukan isterinya dan lain sebagainya. Dalam hal ini para pihak tidak memiliki dalil (fakta) untuk memperkuat gugatan maupun pengingkarannya. Sementara dalam fiqih murafa'at dikenal adanya sumpah pemutus (yamin al-istidzar) sebagai upaya mengakhiri sengketa karena para pihak tidak dapat mengajukan alat bukti lain. Sebagaimana sumpah li'an untuk menyudahi tuduhan zina oleh suami kepada isterinya karena tak cukup saksi yang diperlukan. Demikian juga dalam kasus amanah lewat wasiat (Qs. Al Maidah: 106) dikenal cara pemberatan (taghlidl) sumpah yang ditandai oleh waktu (ba'da shalat ashar) dan tempat pengambilan sumpah di dalam masjid[13].

Akhir-akhir ini masyarakat banyak memprakarsai sarana untuk mengakhiri sengketa/tuduhan dengan meminta kesediaan lawan untuk disumpah pocong. Pihak yang diminta bersumpah pocong dibalut kain kafan mayat berwarna putih, dibaringkan membujur tak ubahnya mayat yang siap dishalat-jenazahkan, Kemudian dibimbing petugas tertentu untuk menyatakan sesuatu di bawah sumpah "demi Allah". Pada acara sumpah pocong tersebut, hakim peradilan tidak berperan kecuali sebatas mengawasi pelaksanaan sumpah atas permintaan itu.

Sumpah ada dua macam yaitu Sumpah Suppletoir dan Sumpah Decisoir. Sumpah Supletoir atau sumpah tambahan dilakukan apabila sudah ada bukti permulaan tapi belum bisa meyakinkan kebenaran fakta, karenanya perlu ditambah sumpah. Dalam keadaan tanpa bukti sama sekali, hakim akan memberikan sumpah decisoir atau sumpah pemutus yang sifatnya tuntas, menyelesaikan perkara. Dengan menggunakan alat sumpah decisoir, putusan hakim akan semata-mata tergantung kepada bunyi sumpah dan keberanian pengucap sumpah. Agar memperoleh kebenaran yang hakiki, karena keputusan berdasarkan semata-mata pada bunyi sumpah, maka sumpah itu dikaitkan dengan sumpah pocong. Sumpah pocong dilakukan untuk memberikan dorongan psikologis pada pengucap sumpah untuk tidak berdusta. Berkaitan dengan Tuhan Yang Maha Esa maka sumpahnya pun disebut sumpah mimbar. Artinya, pihak yang dibebani sumpah akan dibawa ke muka mimbar rumah ibadah. Setelah ditetapkan hari untuk bersumpah, pelaku akan dibawa ke depan mimbar rumah ibadah agama yang dipeluknya. Setelah bersuci, di muka mimbar ia akan diupacarakan seperti orang meninggal, diiringi doa-doa. Dihadapan seorang kyai dan dikelilingi para saksi yang terdiri atas semua majelis, panitera, pembela, para ulama, ia pun mengucapkan sumpah hasil rumusan hakim yang isinya membenarkan gugatan atau sangkalannya. Usai upacara akan dibuat berita acara oleh para panitera pengadilan, majelis, serta hakim yang menyaksikan, yang menjelaskan segala sesuatu tentang pelaksanaan sumpah. Segera berita acara yang telah diterima pengadilan diproses untuk menyusun putusan. Dengan pembuktian menggunakan sumpah mimbar maka yang berani mengucapkan sumpah adalah yang menang.[14]

Berikut ini diuraikan beberapa contoh kasus yang penyelesaiannya dilakukan atau ditawarkan untuk dilaksanakan sumpah pocong, antara lain :

1) di Pontianak sudah pernah dilakukan sumpah pocong yaitu pada persidangan sengketa tanah kasus Dharma Hotel tahun 1992. Saat itu antara penggugat dan tergugat tidak bisa menunjukkan bukti dan salah satu di antara mereka meminta kepada hakim untuk sumpah pocong. Hakim saat itu mengabulkan permintaan tersebut dan sumpah pocong dilakukan di Masjid Mujahidin. Saat itu sumpah dilakukan oleh tokoh agama dan dilihat hakim serta perangkat persidangan lainnya. Sumpah pocong tidak mesti dilakukan oleh tergugat dan penggugat. Kalau memang lawannya tidak berani ikut bersumpah, berarti ada sesuatu. Sumpah pocong pada dasarnya menantang kejujuran seseorang[15].

2) Sumpah pocong pernah juga digelar di Dusun Jambuan, Kelurahan Antirogo, Kecamatan Sumbersari, Jember. Di bawah pimpinan K.H Lutfi Ahmad, disumpah pocong 1.000 warga dan hanya empat saja yang terbukti alamiah. Dari empat orang itu, semuanya meninggal dunia dengan berbagai sebab dan hanya satu yang meninggal karena dibunuh orang[16].

3) di Masjid Agung Al-Ikhlas, Ketapang, Kalimantan Barat Sumpah pocong dilaksanakan karena sengketa tanah seluas 904 m2 yang terletak di Desa Kalinilam, Kecamatan Matan Hilir Utara, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, antara Kunan (penggugat) dan H. Labek Hadi (tergugat). Bermula pada tahun 1980, tutur Kunan, ketika Labek berkali-kali membujuk Kunan agar menjual tanahnya yang berada persis di depan bioskop milik Labek, di jalan utama Ketapang. Meski semula menolak, akhirnya Kunan mau juga melepaskan tanah itu setelah Labek berjanji memberikan penukar berupa tanah di samping bioskop. Selain itu ia mensyaratkan pengurusan sertifikat dan ongkos-ongkos yang lain ditanggung Labek. Kunan pun menyerahkan surat tanah, yang hanya berupa keterangan dari pemuka adat, tanpa tanda terima. Entah bagaimana, tahun 1983 sertifikat tanah milik Kunan (di depan bioskop) dan tanah tukaran milik Labek (di samping bioskop) keluar atas nama Labek Hadi. Malah, di atas tanah Kunan itu dibangun ruko. Tak hanya itu, Labek juga membantah pernah menerima titipan surat tanah dari Kunan. Penderitaan Kunan belum berakhir. Kunan, pedagang benda antik itu, dituduh menyerobot tanah milik labek. Akibatnya, pada 1988 Kunan dihadapkan ke pengadilan dan divonis 9 bulan penjara. Namun, Kunan masih juga bernyali untuk menguasai kembali tanahnya. Akhir 1995, Kunan menggugat perdata Labek. Tuntutannya, agar Labek mengembalikan tanahnya. Perjalanan kasus itu tersendat. Selain karena tidak sepenuhnya bisa menyodorkan bukti kepemilikan tanah tersebut, Kunan hanya memiliki kesaksian lisan dari pemuka adat. Posisi Kunan lemah, lantaran hanya memiliki keterangan lisan tanpa didukung bukti tertulis. Untuk membuktikan kepemilikannya, Kunan pun memohon dilakukan sumpah pemutus berbentuk Sumpah Pocong. Hakim Yusuf Naif, S.H. ternyata menerima permohonan sumpah pocong karena kedua pihak yang berperkara tidak ada yang memiliki bukti kuat. (Gatra, 6 Juli 1996)[17]

4) tuntutan pelaksanaan sumpah pocong pernah juga dikeluarkan oleh Aji Massaid dan Tommy Soeharto terhadap mantan pasangan hidupnya, namun ditolak[18].

5) Rencana sumpah pocong untuk warga Desa Kedungbendo, Sidoarjo yang mengajukan luas bangunan berbeda dengan data IMB maupun survei tim ITS dipastikan jalan terus. H Mahfud, seorang kiai asal Kecamatan Candi mengatakan, sumpah pocong itu untuk mencari kebenaran ketika ada indikasi kepatuhan warga melemah terhadap UU atau aturan yang ada. H Mahfud merupakan salah seorang kiai yang akan diminta untuk menjalankan sumpah pocong ini[19].

6) Sumpah pocong ditentukan sebagai alternatif masyarakat Sumenep untuk membersihkan nama baik dari tudingan dukun santet, yaitu salah seorang warga masyarakat Desa Essang Kecamatan Talango, yakni Subahra atau H. Durrasid yang dituduh masyarakat setempat memiliki ilmu santet[20].

7) Sumpah pocong yang mewarnai perseteruan dua orang pengurus Partai Golkar (PG) Pontianak, Zulfadhli dan Zulkarnaen Siregar. Sumpah tersebut bisa diakui keabsahannya dalam persidangan. Siapa yang mengajukan sumpah menjadi pemenang apabila lawannya tidak berani bersumpah. Wakil DPP Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Pusat, Tamsil Sjoekoer SH mengatakan sumpah pocong pernah dilakukan dalam persidangan. Sumpah pocong sama juga dengan sumpah pemutus dalam persoalan apa pun. Sumpah tersebut dipandang dari sudut agama dibenarkan[21].

Meski jarang dilakukan, sumpah ini mewakili wajah masyarakat kita yang masih kental menerapkan norma-norma adat. Sumpah yang ternyata dikenal di berbagai kota tersebut tak jarang dipraktekkan dengan tata cara yang berbeda, misalnya pelaku sumpah tidak dipocongi tapi hanya dikerudungi kain kafan dengan posisi duduk.

Sumpah berarti suatu pernyataan khidmat tentang keterangan atau janji, yang diucapkan di hadapan hakim dengan mengingat sifat kemahakuasaan Tuhan. Konsekuensinya, apabila keterangan atau janjinya tidak benar, yang bersumpah diyakini mendapat hukuman Tuhan. Sedangkan pocong berarti mayat yang diselubungi dengan kain kafan. Jadi, Sumpah Pocong berarti sumpah yang dilakukan seorang penganut agama Islam, dengan cara dibalut seluruh tubuhnya dengan kain kafan seperti orang meninggal.

Sumpah pocong, yang mulai marak dipraktekkan di lingkungan peradilan sejak pertengahan 1970-an, biasa dikenal dalam proses acara perdata. Secara implisit sumpah pocong memang tidak diatur dalam serangkaian peraturan Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata. Sumpah pocong merupakan salah satu pembuktian yang dijalankan oleh pengadilan dalam memeriksa perkara-perkara perdata, Istilah sumpah pocong yang beredar di masyarakat sebenarnya dalam istilah pengadilan disebut sumpah mimbar.

Sama dengan sumpah-sumpah lainnya, sumpah mimbar lahir karena adanya perselisihan antara seseorang sebagai penggugat melawan orang lain sebagai tergugat. Selanjutnya, dalam pemeriksaan di pengadilan menurut Hukum Acara Perdata ditentukan, setiap orang yang mengemukakan sesuatu dalil, harus bisa membuktikan kebenaran dalil gugatannya di muka pengadilan wajib. Dalil itu hanya berupa pengakuan, misalnya, pihak penggugat mengaku sebidang tanah X miliknya, maka pihak yang mengeluarkan dalil itu berkewajiban membuktikan kepada hakim perdata akan kebenaran dalilnya. Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) pasal 163 menyebutkan, orang yang menyatakan mempunyai suatu barang atau menyatakan mempunyai suatu hak atau menyebutkan sesuatu peristiwa maka untuk meneguhkan haknya itu atau membantah haknya orang lain, orang itu harus membuktikan adanya haknya dia.

Sebaliknya, pihak yang menyangkal bahwa tanah itu bukan milik penggugat, melainkan milik tergugat, juga mengeluarkan suatu dalil yang harus pula dibuktikan kebenarannya di muka hakim perdata. Di sinilah hakim mempunyai dasar hukum untuk memeriksa perkara itu dengan menerima bukti-bukti yang diajukan oleh pihak penggugat untuk mendukung dalil gugatannya ataupun bukti-bukti yang diajukan oleh pihak lawan atau tergugat untuk mendukung dalil sangkalannya. Kemudian hakim akan mempertimbangkan bukti mana yang lebih kuat, apakah yang diajukan oleh penggugat atau justru tergugat. Adapun bukti-bukti yang layak diajukan sesuai dengan HIR pasal 164 yang pertama adalah bukti surat dan bukti saksi.

Namun kadang-kadang bukti surat dan bukti saksi tersebut tidak bisa dipenuhi oleh kedua belah pihak, hal itu bisa jadi pihak penggugat hanya memiliki bukti berupa sepotong surat yang tidak bisa langsung jadi alat pembuktian tanah itu miliknya. Sedangkan tergugat hanya punya satu saksi tanpa surat-surat. Banyak kasus yang tidak memiliki bukti lengkap untuk bisa meyakinkan hakim dalam mencari fakta yang benar. Pada situasi tertentu, bisa saja terjadi bukti-bukti itu sulit untuk diperoleh karena peristiwa itu sudah terlampau lama terjadi. Misalnya soal warisan, turun-temurunnya harta, atau utang-piutang yang dilakukan antara almarhum orang tua kedua belah pihak beberapa puluh tahun yang lalu.

Dalam situasi tidak ada bukti surat dan bukti saksi, menurut HIR pasal 164 dilakukan bukti persangkaan yaitu dengan meneliti rentetan kejadian di masa lalu. Bukti keempat menurut Hukum Acara Perdata adalah pengakuan, dan pada bukti terakhir atau yang kelima yaitu sumpah.

Mengingat letaknya yang paling akhir, sumpah pun menjadi alat satu-satunya untuk memutuskan sengketa tersebut. Jadi sumpah tersebut memberikan dampak langsung kepada pemutusan yang dilakukan hakim. Hal ini terjadi karena perkara itu sudah harus selesai, tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, apalagi sampai bertahun-tahun, karena kedua belah pihak yang bersengketa masih coba-coba mencari bukti dan saksi lain. Dalam keadaan tertentu hakim mungkin masih menimbang-nimbang seandainya mungkin mendapatkan bukti yang lain. Namun, kalau sudah buntu sama sekali, hakim akan langsung merujuk ke bukti sumpah.

Dalam keadaan tanpa bukti sama sekali, hakim akan memberikan sumpah decisoir atau sumpah pemutus yang sifatnya tuntas, menyelesaikan perkara. Gagasan untuk melakukan sumpah mimbar bisa ditawarkan oleh hakim, meski tidak tertutup kemungkinan inisiatif justru diajukan penggugat yang merasa sangat yakin berada di pihak yang benar. Dalam keadaan begini, penggugat pun bisa meminta sumpah dibebankan pada dirinya atau pada lawan. Bila penggugat meminta hakim membebankan pada pihak lawan, maka pihak lawan pun bisa kembali melemparkan agar sumpah dilakukan oleh si penggugat. Dalam keadan seperti itu maka hakim harus memberikan putusan yang disebut putusan sela untuk menentukan siapa yang harus dibebani sumpah, pihak penggugat atau tergugat.

Dengan menggunakan alat sumpah decisoir, putusan hakim akan semata-mata tergantung kepada bunyi sumpah dan keberanian pengucap sumpah. Hal ini sangat rawan untuk membenarkan pernyataan seseorang, karena banyak orang cukup berani untuk melanggarnya. Bisa jadi yang dikatakannya benar, tapi tidak tertutup pula dusta. Sementara di sisi lain, hakim harus segera memutuskan kasus yang tidak lengkap bukti-buktinya. Hal tersebut menjadi sebuah dilema pemutusan dengan Sumpah Mimbar.

Tata cara tersebut ditempuh untuk mencegah orang melakukan sumpah palsu, karena ada orang yang bersedia melanggar demi kemenangan. Meski dalam undang-undang telah dicantumkan, "Barang siapa memberikan keterangan yang tidak benar di muka pengadilan bisa dituntut." Bagi pengadilan melakukan sumpah di ruang sidang atau di depan mimbar tempat suci sebetulnya sama saja. Yang diharapkan, semua yang diucapkan adalah benar. Karenanya, diupayakanlah tata cara yang berhubungan langsung dengan keimanannya pada Tuhan, meskipun sanksinya pun tidak langsung akan diterimanya.

Dalam peradilan pidana sumpah pocong tidak mendapat pengakuan sebagai alat bukti, karena sumpah tidak termasuk dalam alat bukti hukum pidana. Dan menjadi tidak tepat jika sumpah pocong dilakukan sebagai upaya untuk menyakinkan penyidik. Karena dalam hukum pidana sumpah tidak diakui sebagai alat bukti. Dimana dalam KUHAP pada pasal 184 telah menyebutkan keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa., sebagai alat bukti yang sah. Dan ini beda dengan pembuktian hukum perdata yang mengenal sumpah sebagai salah satu alat pembuktian. Akan tetapi sumpah hanyalah merupakan nilai kekuatan yang diberikan oleh saksi, terdakwa maupun ahli. dan ini tidak tersendiri.

Tapi dalam kasus ini, misal dalam kasus perkosaan, juga harus diperhatikan nilai nilai sosialnya. Seperti kesiapan korban untuk melakukan sumpah pocong walaupun itu tidak masuk sebagai alat bukti dalam hukum pidana. Tapi sebagai salah satu upaya untuk dapat menyelesaikan kasusnya, ini harus disikapi dengan cepat oleh penyidik. Ini suatu pertanda bukti, bahwa keterangan yang diberikan korban mempunyai nilai kekuatan pembuktian dan dapat dipercaya. Begitu juga kepada pelaku,keterangan yang diberikannya juga harus mendapat penilaian yang sama dari pihak penyidik. Sehinga penyidik akan lebih mudah menemukan titik terang kasus tersebut. Jadi bukan pada materi sumpah poconng itu sendiri.

Memang diakui bukti-bukti dalam kasus-kasus seksual tidak menimbulkan bukti mati dan sifatnya tertutup. face to face. Dan dilakukan pada ruang tertutup. Jadi kesukarannya adalah merujuk pada alat bukti. Dalam menghadapi kasus seperti ini seharunya polisi sebagai penyidik harus jeli, misalnya saksi tidak ada, surat tidak ada. Maka keterangan tersangka keterangan saksi(saksi korban) ditambah petunjuk, itulah yang harus dikejar oleh penyidik.

Sebagai alat penegak hukum, petunjuk bisa dimunculkan sebagai alat bukti. Dan ini bisa didapat dari keterangan saksi dan keterangan tersangka. Jadi petunjuk bisa muncul sebagai alat bukti secara tidak langsung. Dan ini lah yang belum diberdayakan oleh aparat (kepolisan).

Oleh sebab itu dalam kasus-kasus yang tidak ada saksi, saksi itu bisa dimunculkan yaitu petunjuk. Yang diperoleh dari konfirmasi antara saksi(korban) dan tersangka. Mengapa ini perlu dimunculkan, karena hal ini berhubungan dengan syarat pembuktian, yaitu keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Dan bukan sebaliknya menjadi dasar polisi dengan cepat mengeluarkan vonis pendahuluan untuk mendiamkan, memperlama dan bahkan mempetieskan kasus dengan alasan alat bukti tidak cukup, apalagi dalam kasus pelecehan seksual, yang sulit untuk mendapatkan alat bukti. Tidak seperti halnya dengan kasus pembunuhan. Apalagi pihak penyidik selalu menekankan pada bukti mati. Inilah tuntutan dan tantangan untuk meningkatkan propesional penyidik dalam menangani kasus. Persoalan nanti apakah kasus itu terbukti atau tidak diserahkanlah pada pengadilan sebagai benteng terakhir. Walaupun pihak kepolisian mempunyai kewenangan untuk itu.

  1. Kebenaran yang ingin diungkap

Prof. Loebby Loqman, S.H., Ahli Hukum Perkara Pidana UI, memberikan pandangan yang sedikit berbeda mengenai sumpah yang kental dengan nilai sakral. "Bila sampai bersumpah tidak benar, hukumannya tidak akan diterima di dunia, tapi di akhirat. Bagi masyarakat beragama hal ini tentu sangat menakutkan, sebisa mungkin dihindari hukuman di akhirat." [22]

Risiko sumpah pocong atau sumpah mimbar besar sekali. Tidak semua orang, lebih-lebih kalau orang itu orang yang beriman, mau nekat melakukannya. Kecuali kalau orang itu memang sudah memiliki niat penipu, atau sifat buruk lainnya.

"Paling repot kalau menghadapi seorang psikopat atau sosiopat yang tidak memiliki rasa bersalah bila melanggar sumpah. Norma-norma penderita kepribadian terbelah itu biasanya sudah kacau balau," ujar psikolog Sartono Mukadis yang memberikan contoh bahwa seorang sosiopat tidak akan merasakan beban psikologis bila harus mengucapkan sumpah apa pun[23].

Karena itu hakim harus berhati-hati sebelum membebankan sumpah mimbar pada salah satu pihak. Harus diteliti benar, apakah orang tersebut dapat dipercaya, bagaimana tingkah laku dan kehidupan sehari-harinya baik di rumah, lingkungan maupun pekerjaan, juga kehidupan beragamanya. Hakim sebaiknya tidak langsung mengizinkan seseorang melakukan sumpah hanya karena ia berucap berani mati. Jangan sampai keputusan dilakukan dengan cepat, namun nantinya banyak menimbulkan kekeliruan-kekeliruan. Hakim harus mempertimbangkan matang-matang untuk tidak meminta satu pihak mengucapkan bersumpah, sementara hakim itu tidak yakin bahwa pihak yang ditunjuknya tidak akan melakukan sumpah palsu. Dengan kata lain, hakim jangan sampai bertindak mendorong orang melakukan sumpah palsu karena keinginan memenangkan perkara dengan sanksi yang sangat fatal.

Sumpah mimbar memang lebih sering dipraktekkan untuk perkara perdata yang mengkondisikan selalu ada yang kalah dan ada yang menang. Meski untuk perkara perdata masih bisa ditempuh jalan keluar lain, misalnya musyawarah untuk mencapai perdamaian. Sumpah pocong memang bukan sumpah biasa, karena risikonya sangat berat. Beban tanggung jawab tidak hanya dipikul di dunia, tapi juga akhirat.

Sumpah, sebuah kata sederhana yang memiliki kekuatan magis. Sumpah pocong lalu menjadi salah satu upaya hukum yang "sakti" guna menyelesaikan kasus-kasus perdata semacam sengketa tanah, utang-piutang, dan sebagainya, di mana masing-masing pihak sama-sama lemah dalam hal saksi dan bukti. Rasa ngeri saat menjalankan ritual sumpah pocong, sebutan yang sebenarnya hanya dikenal dalam istilah adat, tak diingkari acapkali melanda para pelakunya. Penyebabnya, bisa jadi selain sumpah diucapkan langsung ke hadirat Tuhan, juga dilakukan di tempat ibadah yang mengandung konotasi tempat yang suci. Menurut Hakim Pengadilan Negeri Ketapang, Yusuf Naif, S.H., alasan diselenggarakan di mesjid, karena yang meminta sumpah pemutus itu biasanya menghendaki kesakralan tempat. "Sepanjang itu menambah keyakinan akan keampuhan sumpah tersebut, apakah itu di mesjid, gereja, atau kelenteng, sih tidak apa-apa," ujarnya.

Akhirnya, kebenaran itu sejatinya dikembalikan pada Tuhan, sebagai puncak tertinggi hierarki. Manusia tidak bisa menjadi hakim dari ketidaktahuannya akan hakikat realitas. Jadi, dengan sumpah pocong kita diajarkan bahwa jalan kekerasan bukan jawaban dalam menyelesaikan sengketa, sebab akhirnya sang Pencipta yang menghukumnya. Lebih dari itu, ia telah berhasil membumikan ajaran agama dalam kehidupan keseharian pemeluknya.[24]

3. Kesimpulan

Dari uraian dan pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

a. Sumpah pocong merupakan produk hukum adat yang masih dipercayai oleh masyarakat, baik tradisional maupun modern, untuk mengungkapkan kebenaran atas sengketa yang dihadapi.

b. Istilah sumpah pocong dikenal masyarakat muslim, namun bukan merupakan produk hukum Islam. Bagi penganut agama/ kepercayan lain juga dikenal sumpah sejenis dengan nama dan ritual masing-masing sesuai agama/kepercayaan tersebut.

c. Dalam praktik pengadilan hukum positif sumpah pocong, atau dalam istilah pengadilan disebut sumpah mimbar, dapat dipakai oleh hakim sebagai dasar memutuskan perkara khususnya dalam peradilan perdata. Sedangkan dalam peradilan pidana tidak dikenal alat bukti berupa sumpah. Walaupun demikian sumpah pocong dapat digunakan oleh penyidik sebagai pertimbangan untuk memperoleh petunjuk dalam menyidik kasus yang dihadapi.

d. Sumpah pocong dipilih masyarakat untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapi dengan berbagai alasan, antara lain :

1) merupakan tradisi penyelesaian sengketa yang sudah dilakukan secara turun-temurun

2) tidak adanya bukti dan saksi yang cukup untuk mendukung gugatan/penyangkalan di depan pengadilan

3) tidak terlalu banyak mengeluarkan tenaga, waktu dan biaya dan lebih memenuhi rasa keadilan dibandingkan melalui jalur peradilan

4) konsekuensi dari orang yang bersalah akan mendapatkan hukuman dari Tuhan berupa kematian yang suci, artinya kematian yang dikehendaki oleh Tuhannya

5) memberikan dorongan psikologis pada pengucap sumpah untuk tidak berdusta, karena sumpah dilakukan sesuai keyakinannya, ditempat yang sangat sakral dan dalam suatu prosesi yang sarat dengan suasana kerohanian serta dihadapkan pada resiko akhirat yang sangat berat bagi orang yang beriman

6) sumpah pocong berkaitan harga diri, harkat dan martabat serta perasaan malu, dengan adanya sumpah pocong akan membawa keharmonisan alam kehidupan sosial.

e. Sumpah pocong juga mengandung kemungkinan menjadi sumpah bohong dan tidak ada konsekuensinya bagi pengucapnya bila pihak yang dibebani sumpah adalah seorang psikopat atau sosiopat, serta ia mempunyai itikad tidak baik untuk memenangkan gugatan/perkara. Bagi orang seperti itu tidak ada ketakutan melanggar sumpah, atau melakukan sumpah bohong. Untuk itu hakim harus hati-hati memahami dan mendalami kondisi dan karakter pihak yang akan dibebani pengucapan sumpah.

f. Akhirnya kebenaran itu sejatinya dikembalikan pada Tuhan, sebagai puncak tertinggi hierarki pencarian kebenaran dan keadilan. Dengan sumpah pocong kita diajarkan bahwa jalan kekerasan bukan jawaban dalam menyelesaikan sengketa, sebab akhirnya sang Pencipta, Yang Maha Benar dan Maha Adil yang menghukumnya. Sumpah pocong telah berhasil membumikan ajaran agama dalam kehidupan keseharian pemeluknya.

Sekian & Terimakasih


Daftar Pustaka :

Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Kedua

Sudjito, Deskripsi dan Pokok-pokok Pikiran Tentang Dinamika Bahsa Hukum, Makalah disampaikan dalam Diskusi bulanan Dosen-dosen Fakultas Hukum UGM, 15 Desember 2007

Sumpah Pocong, http://id.wikipedia.org/wiki/Sumpah_pocong , 25 Februari 2008

Ahmad Sahidah, “Menemukan Kebenaran dalam Sumpah Pocong”, http://ahmadsahidah.blogspot.com/2008/01/menemukan-kebenaran-dalam-sumpah-pocong.html, 25 Februari 2008

Satjipto Rahardjo, “Sosiologi Hukum : Perkembangan, Metode, dan Pilihan Masalah”, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2002

“Penguatan Hukum Adat, HAM, dan Pluralismehttp://www.ireyogya.org/adat/penguatan.htm, 25 Februari 2008

Soerjono Soekanto, “Hukum Adat Indonesia”, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003

Shinta Teviningrum,Sumpah Pocong, Menghindari Sumpah Bohong”, http://www.indomedia.com/intisari/1996/des/pocong.htm, 25 Februari 2008

Sumpah pocong sebagai penyelesaian sengketa gugatan atau tuduhan”, Usulan dari PCNU Genggong Probolinggo, http://pesantren.or.id.29.masterwebnet.com/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/masail/wilayah/lirboyo_2000/08.single?seemore=y , 25 Februari 2008

Sumpah Pocong Diakui Hukum Positif, Naib Tappi: Cari Duri dan Daging”,
http://www.equator-news.com/berita/index.asp?Berita=utama&id=67499 , 25 Februari 2008

Dadang Sukandar, “Santet, dari Sumpah Pocong sampai Hukum Positif”, http://www.sinarharapan.co.id/berita/0310/01/nas06.html

“Sumpah Pocong Bukan Harga Mati”, http://www.surya.co.id/web/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=17424, 25 Februari 2008

Penentuan Sumpah Pocong Sebuah Tindakan Alternatif”, http://www.jatim.go.id/news.php?id=15413&t=062644, 25 Februari 2008



[1] Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Kedua

[2] ibid

[3] Sudjito, Deskripsi dan Pokok-pokok Pikiran Tentang Dinamika Bahsa Hukum, Makalah disampaikan dalam Diskusi bulanan Dosen-dosen Fakultas Hukum UGM, 15 Desember 2007, halaman 1

[4] Sumpah Pocong, http://id.wikipedia.org/wiki/Sumpah_pocong , 25 Februari 2008

[6] Satjipto Rahardjo, “Sosiologi Hukum : Perkembangan, Metode, dan Pilihan Masalah”, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2002, hal. 14

[7] Penguatan Hukum Adat, HAM, dan Pluralisme, http://www.ireyogya.org/adat/penguatan.htm, 25 Februari 2008

[8] Soerjono Soekanto, “Hukum Adat Indonesia”, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 121-122

[9] Ibid. hal. 288

[10]Shinta Teviningrum,Sumpah Pocong, Menghindari Sumpah Bohong”, http://www.indomedia.com/intisari/1996/des/pocong.htm, 25 Februari 2008

[11] Sumpah Pocong, http://id.wikipedia.org/wiki/Sumpah_pocong , 25 Februari 2008

[12] ibid

[13]Sumpah pocong sebagai penyelesaian sengketa gugatan atau tuduhan”, Usulan dari PCNU Genggong Probolinggo, http://pesantren.or.id.29.masterwebnet.com/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/masail/wilayah/lirboyo_2000/08.single?seemore=y , 25 Februari 2008

[14] Sumpah Pocong, http://id.wikipedia.org/wiki/Sumpah_pocong , 25 Februari 2008

[15]Sumpah Pocong Diakui Hukum Positif, Naib Tappi: Cari Duri dan Daging”,
http://www.equator-news.com/berita/index.asp?Berita=utama&id=67499 , 25 Februari 2008

[16] Dadang Sukandar, “Santet, dari Sumpah Pocong sampai Hukum Positif”, http://www.sinarharapan.co.id/berita/0310/01/nas06.html

[17] Shinta Teviningrum,Sumpah Pocong, Menghindari Sumpah Bohong”, http://www.indomedia.com/intisari/1996/des/pocong.htm, 25 Februari 2008

[19] “Sumpah Pocong Bukan Harga Mati”, http://www.surya.co.id/web/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=17424, 25 Februari 2008

[20]Penentuan Sumpah Pocong Sebuah Tindakan Alternatif”, http://www.jatim.go.id/news.php?id=15413&t=062644, 25 Februari 2008

[21]Sumpah Pocong Diakui Hukum Positif, Naib Tappi: Cari Duri dan Daging”,
http://www.equator-news.com/berita/index.asp?Berita=utama&id=67499 , 25 Februari 2008

[22] Shinta Teviningrum,Sumpah Pocong, Menghindari Sumpah Bohong”, http://www.indomedia.com/intisari/1996/des/pocong.htm, 25 Februari 2008

[23] ibid

Tidak ada komentar: